PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Kisi-kisi Materi UTS)
KEPPUTUSAN DIRJEN DIKTI NO. 43/DKI,TK/KEP/2006 PASA 9
1.Hakikat Pembelajaran/Perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan Pembelajaran/perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan (citizen ship), pada hakikatnya berfokus pada pembentukan pribadi mahasiswa untuk menjadi warga negara yang cerdas, jujur, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh UUD 1945,
2. Tujuan Pembelajaran/Perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kearganegaraan dapat dipahami sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang tumbuh dan berakar pada budaya bangsa Indonesia, untuk kemudian dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku mahasiswa sebagai individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Berdasarkan Undang Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Bab X tentang kurikulum pada penjelasan pasal 37 ayat (2) disebutkan, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:
a. Tujuan Umum Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antaran Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), dengan demikian diharapkan para mahasiswa menjadi warga Negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara;
b. Tujuan Khusus Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis, serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggungjawab; Agar mahsiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggungjawab yang berdasarkan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional; Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
OBJEK PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
1. Objek Material Objek material Pendidikan Kewarganegaraan adalah segala hal yang berkaitan dengan warganegara, baik yang emperik maupun yang non-emperik, yang meliputi wawasan,sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan Negara;
2. Objek Formal Objek formal Pendidikan Kewarganegaraan adalah hubungan antara warga Negara dengan Negara dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN);
IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Identitas Nasional Identitas nasional terdiri atas istilah identitas (identity) dan nasional (nation). Identitas nasional dapat diartikan sebagai karakter, cirri, tanda, jati diri ataupun sifat khs. Nasionalisme artinya adalah bangsa. Identitas nasional merupakan sifat khas yang melekat pada suatu bangsa atau yang lebih dikenal sebagai kepribadian/karakter suatu bangsa. (Erwin: 2011: 41) Identitas nasional pada suatu Negara pada hakikatnmnya merupakan suatu bentuk kepribadian bangsa yang sesungguhnya untuk mewujudkan kredibilitas, integritas, harkat dan martabat bangsa dalam rangka mencapai tujuan Negara. (Erwin: 2011: 42)
Menurut Soemarno Soedarso, identitas nasional (karakter bangsa) tersebut tampil dalam tiga fungsi, yaitu:
1. Sebagai penanda keberadaan atau eksistensinya. Bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sebagai pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kondisi ketahanan bangsa pada khususnya; dan 3. Sebagai pembeda dengan bangsa lain di dunia. (Erwin: 2011: 42)
B. Faktor-faktor Pembentuk Indentitas Nasional Menurut Robert de Vantos, kemunculan identitas nasional bagi suatu negara adalah sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yakni faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik, dan faktor reaktif. Faktor primer mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Sementara faktor pendorong meliputi pembangunan komunikasi, teknologi, kekuatan militer, dan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Faktor pendorong senantiasa bersifat dinamis, bergerak terus mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakatnya. Sedangkan faktor penarik terdapat pada kodifikasi bahasa yang resmi dan bagaimana sisrtem pendidikannya. Sedangkan ruang lingkup yang terdapat pada faktor reaktif adalah meliputi penindasan, dominasi, dan kolektifitas rakyatnya. (Erwin, 2011: 43-44) A. Karakteristik Identitas Nasional Karakteristik berasal dari bahsa latin “kharakter”, “kharassein”, dan “kharax” yang maknanya “tools for making”, “to engrave”, dan “pointed stake” yang dalam bahasa Prancis menjadi “caractere”, yang kemudian menjadi bahasa Inggris “character”, sedang dalam bahasa Indonesia dikenal “karakter” (Elmubarok, 2008: 102). Menurut Foerster (dalam Elmubarok, 2008: 104-105, dikutip oleh Tim Nasional Dosen, 2010: 68) ada empat ciri dasar dalam pembentukan karakter, yakni
(1) keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan,
(2) koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang,
(3) otonomi, di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar nsampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan serta tekanan dari pihak lain,
(4) keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik.
Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menakankan unsur psikososial yang diakitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somato psikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini istilah karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. (Sjarkawi, 2008, dikutip oleh Tim Nasional Dosen, 2010: 68)
B. Unsur-unsur identitas nasional Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan babungan dari unsur-unsur pembentukan identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa. (Syarbaini: 2011: 204) Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat akskriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan. Kebudayaan:adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsiorkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur identitas nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian, sebagai berikut:
1) Identitas fundamental: yaitu Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara, dan ideologi negara;
2) Identitas instrumental: berisi UUD 1945 dan tata perundang-undangannya, bahasa Indonesia, lambang negara, bendera negara, lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
3) Identitas alamiah: meliputi negara kepulauan (archipelago) dan pluralismedalam suku, bahasa, budaya dan agama serta kepercayaan (agama).
POLITIK DAN STRATEGI
A. Politik dan Strategi
1) Pengertian Politik Secara etimologis kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “politea” yang akar katanya adalah polis dan teia. Polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu negara. (Tim Nasional Dosen, 2010: 86) Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy (yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan kebijakan) adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Pengambilan kebijakan bisa dilakukan oleh seorang pemimpin yang memiliki otoritas (kekuasaan). (Tim Nasional Dosen, 2010: 87) Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Dengan demikian politik membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan distribusi sumber daya. (Tim Nasional Dosen, 2010: 87) Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Politik nasional didefenisikan sebagai asas, haluan, usaha, serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Strategi nasional disusun untuk mencapai tujuan nasional, misalnya strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. (Tim Nasional Dosen, 2010: 87)
2) Pengertian Strategi Strategi berasal dari bahasa Yunani, strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam perang. Karl von Clausewitz (1780-18310) berpendapat, bahwa strategi adalah penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedang perang itu sendiri merupakan kelanjutan politik. (Syarbaini, 2011: 230) Melalui pranata-pranata politik, masyarakat ikut berpartisipasi dalam kehidupan politik nasional. Pada era reformasi saat ini, masyarakat memiliki peran yang sangat besar dalam mengontrol jalannya politik dan strategi nasional yang ditetapkan oleh MPR maupun yang dilaksanakan oleh Presiden. Pandangan masyarakat terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun bidang Hankam akan selalu berkembang karena:
a. Semakin tingginya kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. Semakin terbuka akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya;
c. Semakin meningkat kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup;
d. Semakin meningkat kemampuan untuk mengatasi persoalan, seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. Semakin kritis dan terbukanya masyarakat terhadap ide baru.
B. Sistem Konstitusi
a. Pengertian Konstitusi
Penyebutan konstitusi berasal dari istilah Perancis “constituer”, yang berarti membentuk. Dalam penafsiran Wirjono Projodikoro, constituer dalam pemakaian istilah konstitusi bisa diartikan sebagai peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan suatu negara. (Erwin: 2010:88) Bagi suatu negara modern, keberadaan konstitusi mutlak diperlukan. Kanstitusi bukan hanya diperlukan untuk membatasi wewenang penguasa (limited government), melainkan lebih dari itu yaitu untuk menjamin hak rakyat, mengatur jalannya pemerintahan,mengatur organisasi negara, merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Secara historis, memang konstitusi pada awalnya dibentuk membatasi kekuasaan raja yang pada waktu itu bertindak sewenang-wenang. Dengan lahirnya konstitusi ada hak dan kewajiban penguasa untuk memerintah dan ada hak dan kewajiban rakyat yang diperintah, dan masing-masing pihak memahami posisi dan kedudukannya sehingga jalannya pemerintahan negara dapat dikendalikan atau dilandasi oleh aturan-aturan yang jelas. (Tim Nasional Dosen, 2010:96) Jika suatu negara tidak mempunyai konstitusi dapat dipastikan akan terjadi penindasan terhadap hak-hak asasi manusia (rakyat) seperti yang terjadi di masa lampau. Oleh karena itu, sejarawan Inggris yang bernama Lord Acton mengatakan: “Power tend to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Artinya bahwa kekuasaan yang absolut itu cenderung disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang mutlak (tidak terbatas) pasti disalahgunakan. Untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut, maka diperlukan adanya konstitusi. (Tim Nasional Dosen, 2010:96) Dalam perkembangannya istilah konstitusi mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum ndasar (droit constitunelle). Seperti halnya hukum dasar pada umumnya, hukum dasar juga tidak selalu berbentuk dokumen tertulis. Pengertian konstitusi secara luas dikemukakan oleh Bolingbroke dalam Modern Constitution. (Tim Nasional Dosen, 2010:97) Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (loi constitunelle), yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. UUD 1945, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787, Konstitusi Perancis 1789, Konstitusi Federasi Swiss 1848 merupakan contoh-contoh konstitusi dalam arti sempit. (Tim Nasional Dosen, 2010:97)
b. Sistem Konstitusi
Pada mulanya kehadiran paham konstitusionalisme (sistem konstitusional) adalah untuk membatasi pemerintahan jangan sampai bersifat absolut dan menuntut orang-orang yang berkuasa untuk mematuhi hukum dan peraturan. Dalam perkembangannya paham konstitusionalisme/sistem konstitusional ini lebih memfokuskan pengertiannya sebagai pemerintahan yang menyelenggarakan kekuasaannya dengan berdasarkan pada konstitusi (undang-undang dasar). Adapun ajaran pokok dari paham konstitusionalime tersebut ada pada: • Anatomi kekuasaan di negara tersebut semuanya tunduk pada hukum;
• Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
• Di negara tersebut peradilannya diselenggarakan secara bebas dan mandiri; dan
• Adanya pertanggungjawaban kepada rakyat.
Sementara bila melihat kepada substansi konstitusi Indonesia saat ini, UUD 1945 amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat telah meratifikasi keempat prinsip konstitusionalisme tersebut. Mengenai anatomi kekuasaan di Indonesia dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (3), tentang jaminan HAM ada pada Pasal 26 s/d Pasal 34, untuk nuansa peradilan dapat dilihat pada Pasal 24 ayat (1), dan untuk akuntabilitas dapat dilihat pada Psl 23 ayat (1). Atas pemahaman terhadap paham konstitusionalisme tersebut dapatlah digaris bawahi bahwa konstitusi atau undang-undang dasar mempunyai derajat supremasi dalam suatu negara, dalam artian telah menjadi roh bagi tertib hukum suatu negara. (Erwin: 2011:90-91) c. Materi Muatan Konstitusi Perihal yang terkandung dalam teori konstitusi itu tidak hanya memuat masalah yuridis (hukum), namun juga memuat faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Adapun suatu konstitusi dapat dikatakan memuat teori konstitusi secara lengkap apabila merupakan: . (Erwin: 2011:91) a. Hasil filsafat, artinya pasal-pasal atau batang tubuh dari konstitusi itu merupakan pengkhususan dari sendi-sendi, dan dari sendi-sendi itu dirumuskan ke dalam suatu peraturan yang lengkap; b. Hasil kesenian, artinya kata-kata yang digunakan di dalam konstitusi itu sederhana, yang menggambarkan dengan jelas apa yang ndimaksud; dan c. Hasil ilmu pengetahuan, artinya di dalam peraturan itu tidak terdapat pertentangan antara satu dan nlainnya, melainkan sistematis dan harmonis. Selain sebagai dokumen hukum, konstitusi juga dianggap sebagai pernyataan cita-cita yakni alat untuk membentuk suatu sistem politik dan sistem hukum negaranya sendiri.. A.H. Struycken berpandangan bahwa undang-undang dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi: . (Erwin: 2011:92) a. Hasil perjuangan politik di masa yang lampau; b. Tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ketatanegaraan bangsa; c. Pandangan tokok-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; d. Suatu keinginan hendak dibawa kemana perkembangan kehidupan ketatanegaraan. UUD 1945 merupakan hasil perjuangan politik para Founding Fathers bangsa Indonesia, yang dimuat dalam PembukaanUUD 1945: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia…..” Sedangkan untuk tingkat-tingkat tinggi dari perkembangan ketatanegaraan bangsa, terdapat pada kalimat “….. telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Untuk selanjutnya timbul keinginan dan tekad hendak membawa ketatanegaraan negara Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan materi muatan/isi dari konstitusi (undang-undang dasar) ini, K.C. Wheare mengemukakan bahwa seharusnya isi dari suatu konstitusi itu adlah “The very minimum, and that minimum to be rule of law” (konstitusi itu harus sesingkat mungkin), agar mudah untuk dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat (yang akan melaksanakan maupun pihak yang dilindungi oleh undang-undang dasar tersebut). . (Erwin: 2011:92) J.G. Steenbeek lebih lanjut menjelaskan bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan dan warga negaranya; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan nsuatu negara yang bersifat fundamental; ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. (Erwin: 2011:92) Sementara bagi Mariam Budiardjo, setiap undang-undang dasar hendaknya memuat ketentuan-ketentuan: . (Erwin: 2011:93)
a. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemewrintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yuridiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
b. Hak-hak asasi manusia;
c. Prosedur mengubah undang-undang dasar; d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar; dan e. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga-lembaga negara tanpa kecuali.
4. Klasifikasi Konstitusi Membahas tentang klasifikasi konstitusi tentunya tidak dapat dilepaskan dari teorinya K.C. Wheare yang telah mengklasifikasikannya atas: . (Erwin: 2011:93) • Written constitution and no written constitution (konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis); • Flexible constitution and rigid constitution (konsrtitusi fleksibel dan konstitusi rigid); • Supreme constitution and not supreme constitution (konstitusi derajat- tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi); • Federal constitution and unitary constitution (konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan); • Presidental executive and parlementary executive constirtution (konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem parlementer) Terhadap klasifikasi secara ridjid atau fleksibel, umumnya dikaitkan dengan caera perubahan terhadap undang-undang dasar tersebut. Kalau untuk merubah undang-undang dasar itu sulit, karena harus melalui dan mengikuti prosedur yang sulit dan membutuhkan cara-cara yang istimewa, maka undang-undang dasar itu disebut konstitusi rijid, sebaliknya apabila untuk merubah undang-undang dasar suatu negara itu tidak sulit atau dalam artian tidak memerlukan caera-cara tertentu/istimewa, maka undang-undang dasar tersebut dinamai konstitusi fleksibel, (Erwin: 2011:93) Selanjutnya klasifikasi atas nama konstitusi derajat tinggi dan tidak berderajat tinggi, begitu berkaitan dengan posisi undang-undang dasar suatu negara terhadap peraturan perundang-undangan lain di negara tersebut. Kalau undang-undang dasar negara itu menduduki posisi tertinggi ndalam tata urutan peraturan perundang-undangan di negara tersebut, dan undang-undang dasarnya mendasari keberadaan peraturan perundang-undangan lainnya. Klasifikasi Konstirusi (K.C. Wheare) d. Cara mengubah konstitusi Menurut Miriam Budiardjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi, yaitu: (1) sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya pencapaian kuorum dan jumlah minimum untuk menerimanya, (2) referendum, yaitu permintaan pendapat rakyat tentang perlunya perubahan atau tidak terhadap konstitusi, (3) melalui negara-negara bagian dalam negara federal, (4) melalui musyawarah khusus (special convention). Di Indonesia, prosedur perubahan konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 dan peraturan lainnya seperti Ketetapan MPR No. I/MPR/1983, menurut Pasal 37 UUD 1945 (sebelum diamandemen) disebutkan: 1) Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnyan 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir, dan 2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sedang menurut Tap MPR No. IV/MPR/1983 dan UU No. 5/1985 tentang referendum, prosedur perubahan UUD 1945 sebagai berikut: (1) Usul perubahan itu diajukan oleh sekurang-kurangnya tiga fraksi secara utuh disertai tanda tangann peserta sidang, (2) diadakan referendum, (3) hasil referendum sekurang-kurangnya 91% menyetujui perubahan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 setelah diamandemen, perubahan Undang-Undang Dasar diatur sebagai berikut: 1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya; 3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan npersetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 5) Khusus tentang bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. (Tim Nasional Dosen, 2010:101-102) e. Undang-Undang Dasar 1945 1) Pengertian Undang-undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut (E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law). Setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan: 1) organisasi negara; 2) hak-hak asasi manusia; 3) prosedur mengubah UUD; 4) ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD (Miriam Budiardjo, 1984:101). Sementara itu menurut Astim Riyanto bahwa UUD 1945 mencakup pengaturan sistem pemerintahan negara, hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya, serta berisi konsepsi negara dalam berbagai bidang kehidupan ke arah mencapai cita-cita nasional Indonesia. Apabila kita menyebut UUD 1945, maka yang dimaksud adalah keseluruhan naskah yang terdiri atas: 1) Pembukaan (4 alinea); 2) Batang Tubuh UUD (berisi 16 Bab, 37 Pasal, ditambah 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan); 3) Penjelasan UUD 1945. Perlu dipahami pengertian di atas adalah sebelum UUD 1945 mengalami amandemen. Adapun setelah diamandemen, maka penjelasan UUD 1945 tidak lagi diakui sebagai bagian dari UUD 1945. 2) Sifat dan Kedudukan UUD 1945 a) Sifat UUD 1945 Fleksibel, fleksibilitas UUD 1945 tidak hanya dilahat dari cara perubahannya (Pasal 37), akan tetapi juga dilihat dari kemampuannya mengikuti perkembangan zaman. Namun stelah adanya aturan perubahan berdasarkan Tap MPR No. I/MPR/1983 Jo Tap MPR No. IV/MPR/1983 dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum, maka sifat UUD 1945 tidak lagi fleksibel, karena untuk mengubah UUD 1945 harus melalui prosedur yang sulit, diantaranya: 1) usul perubahan harus diajukan oleh tiga fraksi secara utuh disertai tanda tangan peserta sidang; 2) diadakan referendum; 3) hasil referendum itu sekurang-kurangnya 91% mendukung perubahan UUD 1945. b) Kedudukan UUD 1945 UUD 1945 mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum dan merupakan sumber hukum yang menempati kedudukan tertinggi. Dalam kedudukannya sebagai hukum dan sumber hukum tertinggi, maka setiap peraturan perundang-undangan di bawanya harus berlandaskan UUD 1945. Dengan demikian UUD 1945 menjasi alat kontrol bagi produk hukum di bawahnya apakah sesuai atau tidak. Sebagai hukum dasar dan sumber hukum, UUD 1945 mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yaitu mengikat pemerintah, lembaga kenegaraan, lembaga kemasyarakat, juga setiap warga negara dan seluruh penduduk yang ada di Indonesia. 3) Hubungan Pembukaan dengan Batang Tumbuh UUD 1945 Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan secara padat dan hikmat dalam 4 alinea mengandung makna yang sangat dalam dan mengandung nilai-nilai universal dan lestari. Dalam Pembukaan terkandung 4 pokok pikiran (yaitu: Persatuan, Keadilan Sosial, Kedaulatan Rakyat, Ketuhanan Yang Maha Esa), yang dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945. Dengan demikian antara Pembukaan dan Batang Tubuhmerupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sekalipun antara Pembukaan dan Batang Tubuh mempunyai kedudukan hukum yang berbeda, karena Batang Tubuh dapat diubah oleh MPR sedangkan Pembukaan tidak dapat diubah oleh siapapun termasuk MPR hasil pemilu. (Tim Nasional Dosen, 2010: 105) 4) Dinamika Pelaksanaan UUD 1945 (Tim Nasional Dosen, 2010: 105) 1) Periode 1945-1949 berlaku UUD 1945 2) Periode 1949-1950 berlaku Konstitusi RIS 3) Periode 1950-1959 UUD Sementara 1950 4) Periode 1959-1999 berlaku UUD 1945 (sebelum diamandemen) 5) Periode 1999-sekarang berlaku UUD 1945 hasil amandemen 5) Amandemen UUD 1945 a) Dasar Pemikiran dan Pengertian Amandemen UUD 1945 Tumbangnya rejim Orde Baru, Indonesia masuki pemerintahan reformasi, memasuki pemerintahan reformasi dipandang perlu melakukan perubahan terhadap konstitusi yang dilakukan pandangan berbagai kalangan dengan berbagai pertimbangan: 1) UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat; 2) kebutuhan terbentuknya good governance; 3) dukungan penwegakan demokrasi dan HAM. (Tim Nasional Dosen, 2010: 105) b) Amandemen UUD 1945 UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan yaitu pertama pada SU MPR tanggal 12-19 Oktober 1999. Perubahan kedua pada Sidang Tahunan MPR yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan ketiga dilakukan ST-MPR tanggal 9 November 2001, sedangkan perubahan keempat dilaksanakan pada ST-MPR tanggal 10 Agustus 2002. Tentu saja dengan hasil amandemen tersebut terjadilah perubahan baik dari segi redaksi, kontennya, maupun maknanya. Perubahan itu juga berupa ada pengurangan, ada pengurangan, ada penambahan, dan ada yang baru sama sekali. Diantara hasil perubahan yang prinsipil dari UUD 1945 hasil amandemen antara lain,
(1) tentang MPR dimana anggotanya semua berasal dari hasil pemilu (tidak ada yang diangkat);
(2) Presiden dipilih langsung oleh rakyat;
(3) keberadaan DPA dihapus;
(4) munculnya lembaga yudikatif yang baru yaitu Mahkamah Konstitusi;
(5) masa jabatan Presiden maksimal hanya 2 periode;
(6) ada pembatasan-pembatasan tetang wewenang Presiden;
(7) dimasukkannya pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia;
(8) pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, dan lain-lainnya. Dengan ditetapkannya perubahan UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002, maka UUD 1945 hanya terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasalnya). Sedangkan status penjelasan UUD 1945 yang dulunya merupakan lampiran yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, sekarang tidak lagi diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari naskah UUD 1945.
Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen adalah
(1) Sistem Pemerintahan;
(2) Kelembangaan Negara;
(3) Pemerintahan Daerah;
(4) Hubungan antara Negara dan Warganegara/penduduk;
(5) Bendera dan Bahasa;
(6) Perubahan UUD;
(7) Aturan Peralihan dan Tambahan. (Tim Nasional Dosen, 2010: 108-109)
C. Sistem Politik dan Ketatanegaraan Indonesia Sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Bentuk negara adalah kesatuan UUD 1945 menetapkan bahwa bentuk susunan negara Indonesia adalah negara kesatuan bukan serikat atau federasi. Dasar penetapan ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Secara teori, ada dua klasifikasi bentuk negara yaitu bentuk negara serikat atau federal dan bentuk negara kesatuan. Negara federal adalah negara yang bersusunan jamak, artinya negara yang di dalamnya masih terdapat negara yang disebut negara bagian. Dan terdapat juga dua pemerintahan, yaitu pemerintahan federal dan pemerintah negara bagian dan kekuasaan pemerintah negara bagia. Keduanya adalah sederajat satu sama lain. Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Suatu bentuk negara yang tidak terdiri atas negara-negara bagian atau negara yang di dalamnya tidak terdapat daerah yang bersifat negara. Di dalam negara kesatuan, kekuasaan mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu yang terjadi di dalam negara. (Winarno, 2007: 82) Dalam praktiknya, kekuasaan untuk mengatur seluruh urusan pemerintahan negara tersebut dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu dengan asas sentralisasi dan asas desentralisasi. Kata “sentralisasi” berasal dari kata “centrum” yang artinya pusat atau memusat. Negara kesatuan dengan asas sentralisasi, artinya kekuasaan pemerintah itu dipusatkan, yaitu pada pemerintah pusat. Pemerintah pusatlah yang mengatur dan mengurus segala urusan pemerintahan di seluruh wilayah negara itu. Kata “desentralisasi” dari kata de dan centrum, de artinya lepas atau melepas. Desenrtrum artinya melepas atau menjauh dari pusat. (Winarno, 2007: 82) Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada Pasal 18 UUD 1945. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 Perubahan Kedua berbunyi sebagai berikut:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang;
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonami dan tugas pembantuan;
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum;
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis;
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat;
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peratursan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik UUD 1945 menetapkan bahwa bentuk pemerintahsn Indonesia adalah republik bukan monarki atau kerajaan. Dasar penetapan ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatasksan “Negara Indonesia ialah Negars Kesatuan yang berbentuk Republik”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa “kesatuan” adalah bentuk negara, sedang “republik” adalah bentuk pemerintahan. Bentuk negara Indonesia pernah mengalami perubahan, yaitu dari negara kesatuan menjadi negara serikat. Hal ini terjadi antara Desember 1949 sampai dengan Agustus 1950. Pasal 37 ayat (5) naskah UUD 1945 Perubahan Keempat yang menyatakan “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
3. Sistem pemerintahan adalah presidensil Berdasarkan ketentuan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil. Sistem pemerintahan disebut presidensil apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Ciri-ciri pemerintahan presidensil :
a. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau oleh suatu dewan/majelis;
b. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh predisen. Kabinet bertanggungjawab kepada presiden dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen/legislatif;
c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal ini karena presiden tidak dipilih oleh parlemen;
d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer;
e. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat;
f. Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen. parlemenBadan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya diplih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif;
Sistem pemerintahan di Indonesia dinyatakan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut:
a. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1)
b. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1)
c. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2)
d. Presideen dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)
e. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7C)
f. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10)
g. Presiden dengan persetujuan Deawan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1))
4. Sistem politik adalah demokrasi atau kedaulatan rakyat Sistem politik yang dianut negara Indonesia adalah sistem politik demokrasi (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hakikat demokrasi itu sendiri adalah kekuasaan dalam negara berada di tangan rakyat. Adapun sistem politik disebut demokrasi apabila kewenangan pemerintah terhadap kehidupan warga negara amat terbatas. Pemerintah negara tidak turut campur atas semua aspek kehidupa warganya. Warga negara dapat mengatur sendiri kehidupannya. Pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat atas apa yang dijalankan. Secara normatif sistem politik demokrasi yang dianut di Indonesia didasarkan atas nilai-nilai bangsa yaitu Pancasil. Oleh karena itu sistem politik demokrasi di Indonesia adalah sistem politik demokrasi Pancasila. (Winarno, 2007: 82-88)
Doa seorang anak sekolah minggu
Tuhan kirimkanlah kepadaku seorang guru sekolah minggu. namun jangan kirim kepadaku seorang guru sekolah minggu yang tidak siap, jangan kirim padaku seorang guru sekolah minggu yang sering terlambat, jangan kirim padaku seorang guru sekolah minggu yang tidak sayang padaku. tapi kimkanlah seorang guru sekolah minggu yang baik seperti Tuhan Yesus. tidak usah indah senyumnya namun ramah senyumnya, tidak usahcantik parasnya namun menarik pribadinya, tidak usah tegap badannya namun lembut sikapnya, tidak usah bagus bajunya namun rendah hatinya, tidak usah baik ceritanya namun Kristus hidupnya. agar ketika aku sedih aku dapat menangis di pelukannya, ketika aku gembira aku dapat tertawa bersamanya, ketika mama dan papa berselisih aku bisa berdoa bersamanya, Tuhan aku ingin yang baik seperti Yesus.
Ini adalah doa seorang anak sekolah minggu, mari kita kakak-kakak guru sekolah minggu kita bantu agar Doa adik kita ini bisa terwujud. dengan cara menjadi seorang guru sekolah minggu yang baik, tidak datang terlambat, lemah lembut, penyanyang.